PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PADA ZAMAN PENJAJAHAN
Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Pada
hakikatnya pendidikan adalah proses yang terintregasi dengan perkembangan hidup
dan kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan.[1] Sabda Rasulullah
saw yang berbunyi:
مَن أَرَادَ
الدنيَا فَعَلَيهِ بِالعِلم وَمَن أَرَادَ الاخِرَةَ فَعليه بِالعلم وَمَن
أَرَادَهُما فَعليهَ بالعلمِ
Artinya:
Barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) hidup di dunia maka hendaklah ia
berilmu, dan barangsiapa yang meninginkan (kebahagian) hidup di akhirat maka
hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki kedua-keduanya maka
hendaklah ia berilmu.
Pendidikan
islam dari masa ke masa mengalami transformasi, mulai dari masa awal lahirnya,
yakni pada masa Rosulullah, kemudian pada masa Khulafa’ur rasyidin dan dilanjutkan masa-masa
berikutnya, hingga islampun mengalami masa keemasan, kemunduran, dan perbaikan
yang dikenal dengan masa pembaharuan. Dan disini yang akan dibahas yaitu
pendidikan islam di indonesia yaitu pada masa setelah runtuhnya
kerajaan-kerajaan di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan masa penjajahan
Belanda dan Jepang di Indonesia.
Pada mulanya
kedatangan orang-orang asing Belanda ke Indonesia adalah untuk menjalin
hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia. Selain berdagang Belanda berupaya
menancapkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia. Kehadiran Belanda tidak
hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan politik dan
kehidupan keagamaan rakyat. Penetrasi Belanda menghancurkan elemen-elemen
kehidupan perdagangan orang Jawa, kegiatan umat islam dalam politik. Selain itu
segala aktifitas umat islam yang berkaitan dengan keagamaan ditekan. Belanda
terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengalaman agama islam,
seperti upacara keagamaan dan ibadah haji.
Pembatasan dan
pengawasan ketat oleh Belanda tarhadap umat islam membatasi aktivitas umat
Islam. Akibatnya pengajaran nilai-nilai islam dan peningkatan keberlakuan
nilai-nilai islam menjadi tersendat-sendat, bahkan perluasan agama islam
terhadap daerah yang belum terjangkau oleh islam menjadi terhambat. Meski
demikian, islam justru menjadi daya tarik ulama sebagai simbol perlawanan kepada
penjajah Belanda. Islam dijadikan sebagai mekanisme pertahanan diri dalam
menghadapi kekerasan dan pembatasan pemerintah Belanda.
Berdasarkan
statistika resmi pemerintah pada tahun 1885, jumlah lembaga pendidikan islam
tradisional tercatat sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan Madura (kecuali
kesultanan Yogyakarta). Kegiatan keislaman juga berkembang dengan intens.[2] Hal ini didorong oleh
banyaknya masyarakat Indonesia yang menjalankan ibadah haji sekaligus menimba
ilmu agama di Makkah. Akhirnya terjadilah pelonjakan jumlah lembaga pendidikan
islam.
Pada
pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan
model barat. Pendidikan Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam
tradisional. Adapun tujuan didirikannya sekolah adalah untuk mempersiapkan
pegawai-pegawai bekerja untuk Belanda.[3] Kehadiran sekolah-sekolah
pemerintah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama. Kaum ulama dan para
santri menganggap program pendidikan tersebut adalah alat penetrasi kebudayaan
barat di tengah berkembangnya pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan islam.
Sehingga tujuan ini akan melahirkan kaum intelektual yang sekuler dan menjadi
pembela kebudayaan barat. Akhirya para kaum ulama mengecam sistem ini.
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di kenal
dengan istilah bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya
pendidik pribumi indonesia. Pendidikan
islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam, yaitu :
a. Sistem
pendidikan peralihan Hindu Islam
Sistem pendidikan peralihan Hindu
Islam merupakan sistem pendidikan yang
mengkorelasikan antara sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Adapun pendidikan
pada masa ini dilaksanakan dengan menggunakan dua sistem, Yakni sistem Keraton
dan sistem Pertapa.
Strategi pembelajaran pada sistem
pendidikan keraton dilaksanakan dengan guru (Teacher) mendatangi
murid-muridnya. Yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para bangsawan dan
kalangan keraton. Sedangkan sistem pertapa kebalikan dari sistem keraton, justru
para muridlah yang mendatangi guru ke tempat pertapaanya. Semua murid-murid
yang menimba ilmu tidak lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan
keraton, tetapi juga termasuk rakyat jelata.
b. Sistem
pendidikan surau (langgar)
Secara bahasa kata surau
berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau
adalah bangunan kecil yang dibangun untuk menyembah arwah nenek moyang.
Beberapa ahli mengatakan bahwa surau berasal dari India yang merupakan
tempat yang digunakan sebagai pusat pembelajaran dan pendidikan Hindu-Budha. Istilah
surau paling banyak dipergunakan di Minangkabau.
Seiring dengan kedatangan Islam di
Minangkabau proses pendidikan Islam disampaikan oleh Syeikh Burhanudin. Beliau menyampaikan
pengajarannya melalui lembaga pendidikan surau. Pada umumnya anak
laki-laki yang menimba ilmu di tempat ini menetap, sehingga memudahkan Syeikh
menyampaikan pengajarannya.
Dalam lembaga pendidikan surau
tidak mengenal birokrasi formal, sebagaimana yang dijumpai pada lembaga pendidikan
modern. Aturan yang ada didalamnya sangat dipengaruhi oleh hubungan antar
individu yang terlibat. Secara kasat mata dapat dilihat di lembaga pendidikan
surau tercipta kebebasan, jika murid melanggar suatu aturan yang telah
disepakati bersama, murid tidak mendapatkan hukuman tapi sekedar nasihat. Fungsi
learning societi disurau sangat menonjol karena di lembaga ini tidak
sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan saja tapi lebih dari itu merupakan suatu
proses belajar untuk sosialisasi dan interaksi kultural.
Sistem pendikan di surau
tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, murid dibedakan sesuai dengan
tingkatan keilmuanya, proses belajarnya tidak kaku sama muridnya (Urang Siak)
diberikan kebebasan untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki.
Dalam proses pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang
ada hanya kitab kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses
pembalajaran di surau dengan memakai metode ceramah, membaca dan
menghafal. materi pembelajaran yang diberikan Syeikh kepada urang siak
dilaksanakan sambil duduk di lantai dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh
membacakan materi pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat
beberapa catatan penting disisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan
buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal dengan
istilah halaqoh.[4]
c. Sistem
pendidikan pesantren
Pesantren adalah institusi
pendidikan Islam yang berasal dari tradisi umat Islam. Pesantren lahir dari
pola kehidupan tasawwuf, yang kemudian berkembang diwilayah Islam, seperti
Timur Tengah dan Afrika utara yang dikenal dengan sebutan zawiyat. Pesantren
merupakan kelanjutan dari tradisi Hindu-Budha yang sudah mengalami proses
islamisasi. Pesantern adalah lembaga pendidikan tertua di indonesia. Pesantren
sudah menjadi milik umat Islam setelah melalui proses Islamisasi dalam sejarah
perkembangannya. Di sana diajarkan diajarkan norma-norma yang tidak mungkin
dijumpai di tempat-tempat lain. Disana tidak sekedar diajarkan berbagai ilmu
dan melakukan ibadah saja, tetapi juga diajarkan nilai-nilai paling mutlak yang
harus dimiliki seseorang dalam mengarungi kehidupan.
Metode pengajaran yang digunakan di
pesantren bermacam-macam. Seperti metode sorogan atau layanan individual, Metode
wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif serta Metode Musyawarah.
Metode layanan individual yaitu bentuk
belajar mengajar dimana Kyai menghadapi seorang santri yang masih dalam
tingkatan dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di
hadapan kiyai, kemudian kiyai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu
santri mengulangi bacaan sampai santri benar-benar membaca dengan baik. bagi
santri yang telah menguasai materi lama, maka ia boleh menguasai meteri baru
lagi.
Metode layanan kolektif Ialah
metode mengajar dengan sistem ceramah. Kiyai membaca kitab di hadapan kelompok
santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar. Kiyai biasanya membacakan,
menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan
para santri menyimak baacaan Kiyai sambil membuat catatan penjelasan di penggir
kitabnya. Di daerah Jawa metode ini disebut (halaqoh) yakni murid
mengelilingi guru yang membahas kitab.
Metode Musyawarah Adalah
belajar dalam bentuk diskusi. Metode ini dilakukan melalui membahas setiap masalah yang
berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri ditingkat tinggi. Metode
ini menekankan keaktifan santri dalam mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang
telah ditentukan kiyainya.
Kurikulum pendidikan islam pada masa
ini adalah mengkomplikasikan daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai
dipesantren-pesantren Jawa dan Madura. Daftar tersebut meliputi kitab-kitab
fikih, baik fikih secara umum maupun fiikih ibadah, tata bahasa arab,
ushuludin, tasawwuf dan tafsir. Pendekatan terhadap al-Quran tidak terjadi
secara langsung melainkan hanya melalui seleksi yang sudah dilakukan kitab-kitab
lain khususnya kitab fikih. Studi fikih dan tata bahasa arab merupakan profil
pesantren pada akhir abad ke-19 tersebut. Pada umumnya pendidikan di pesantren
mengutamakan pelajaran fikih. Namun sekalipun mengutamakan pelajaran fikih mata
pelajaran lainnya tidak di abaikan sama sekali. Dalam hal ini mata pelajaran
yang berhubungan dengan ilmu alat, pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan
begitu pula pengajaran bahasa arab.
Tidak ternilai besar kerugian yang harus ditanggung bangsa
Indonesia dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan islam. Di bawah tindasan
dan kekejaman kolonial Belanda, rakyat Indonesia terbelenggu dalam kemunduran
dan keterbelakangan karena harus berhadapan dengan ketatnya peraturan dan
pengawasan kolonial Belanda. Meskipun pemerintah kolonial telah
menyelenggarakan sistem pendidikan barat yang lebih maju dan modern namun
rakyat indonesia tidak sembarang mengikuti sistem pendidikan Belanda.
Sejak tanggal 18 Maret 1942, kejayaan kaum penjajah Belanda di
Indonesia lenyap karena Belanda harus bertekuk lutut pada Jepang. Selanjutnya,
bangsa Indonesia memasuki alam baru di bawah pemerintahan Jepang. Dengan begitu habislah riwayat susunan
pengajaran Belanda yang dualistis yang membedakan antara pengajaran barat dan
pengajaran bumi putera. Kemudian Jepang
mendidirikan sekolah pertama dengan susunan pengajaran sebagai berikut : (a)
Sekolah rakyat 6 tahun, (b) Sekolah menengah 3 tahun, (c) Sekolah menengah tinggi 3 tahun dan menetapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran.
Pada masa
jepang tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman
yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membela bangsa
dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun
kemerdekaan secara manusiawi.
Pada masa itu pesantren besar sering mendapat kunjungan dan bantuan
dari pembesar-pembesar Jepang. Namun kehadiran Dai Nippon di Indonesia
tidak ubahnya dengan Belanda. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang ini
pun mendapat hambatan yang cukup besar. Pada tahun-tahun pertama pendidikan
Jepang, mereka melarang diajarkannya bahasa Arab di sekolah-sekolah agama.
Campur tangan Jepang dalam seluruh bidang pendidikan agama sebagian ditujukan
dalam hubungannya dengan Arab dan pan-Islamisme. Hal tersebut merupakan
salah satu beban yang dipaksakan kepada orang-orang Islam Indonesia selama
zaman pendudukan Jepang.
Kehadiran Jepang di Indonesia
menanamkan jiwa berani pada bangsa Indonesia. Tetapi semua itu untuk
kepentingan Jepang. Kendatipun demikian, ada beberapa hal yang perlu dicatat
pada zaman Jepang ini, yaitu yang terjadi perubahan yang cukup mendasar di
bidang pendidikan, yang penting sekali artinya bagi bangsa Indonesia, ialah :
a. Dihapuskannya
dualisme pengajaran
Habislah
riwayat susunan pengajaran Belanda dualistis, yang membedakan dua jenis
pengajaran , yakni pengajaran Barat dan pengajaran Bumiputra.
b. Pemakaian
Bahasa Indonesia
Pemakaian
Bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar
pada tiap-tiap jenis sekolah, telah dilaksanakan. Tetapi sekolah-sekolah itu
dipergunakan juga sebagai alat untuk mempekenalkan kebudayaan Jepang kepada
rakyat.
Sikap Jepang Terhadap Pendidikan
Islam adalah pemerintahan Jepang
menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan siasat
untuk kepentingan Perang Dunia II. Untuk mendekati umat Islam, mereka menempuh
beberapa kebijaksanaan, di anataranya ialah:[5]
1. Kantor
Urusan Agama, yang pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor Islamistische
Zaken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang
menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu
K.H.Hasyim Asyari dari Jombang, dan di daerah-daerah juga dibentuk Sumuka.
2. Pondok
Pesantren yang besar-besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari
pembesar-pembesar Jepang.
3. Sekolah
Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4. Pemerintah
Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan
pelatihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam, barisan tersebut dipimpin oleh
K.H.Zainal Arifin.
5. Pemerintah
Jepang mengizinkan berdirinya sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin
oleh K.H.Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
6. Para ulama
Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis didizinkan membentuk
barisan Pembela Tanah Air (Peta). Tokoh-tokoh santri dan pemula Islam ikut
dalam pelatihan kader militer tersebut, anatara Sudirman, abd.Khaliq Hasyim,
Iskandar Sulaiman dan lain-lain. Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi
inti dari TNI sekarang.
7. Umat Islam
diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
Perkembangan pendidikan islam pada masa penjajahan Jepang memiliki
ruang gerak bebas dibandingkan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Hal
ini memberikan kesempatan bagi pendidikan islam untuk berkembang :
a.
Madrasah
Madrasah
berkembang dengan pesat dari segi kuantitas pada masa awal kependudukan Jepang.
Hal ini dapat ditandai di daerah Sumatera yang terkenal dengan madrasah
awaliyahnya di bawah naungan majlis ulama tinggi.
b.
Pendidikan
agama di sekolah
Sekolah
negeri diisi dengan pelajaran budi pekerti. Hal ini memberikan kesempatan pada
guru agama islam untuk mengisinya dengan ajaran agama. Di dalam pengajaran
tersebut juga dimasukkan ajaran tentang jihad melawan penjajah.
c.
Perguruan
tinggi Islam
Pemerintah
Jepang mengizinkan berdirinya sekolah tinggi islam dipimpin oleh KH. Wahid
Hasyim, KH. Mudzakar, dan Bung Hatta.
Walupun Jepang
berusaha mendekati umat islam dengan memberikan kebebasan dalam beragama dan
mengembangkan pendidikan, namun para ulama’ tidak akan tunduk kepada
pemerintaha Jepang. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana pejuangan KH. Hasyim
Asyari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang untuk melakukan
seikere (menghormati kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan dewa
matahari). Pada waktu itu pendidikan dalam pondok pesantren masih berjalan
secara wajar.
Pada tanggal 8 Juli 1945 bedirilah sekolah tinggi islam di Jakarta.
Kalau ditinjau dari segi pendidikan pada zaman Jepang umat islam mempunyai
banyak kesempatan untuk memajukan pendidikan islam. Sistem pendidikan pada
zaman Jepang dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1.
Pendidikan
dasar lama studi 6 tahun
2.
Pendidikan
lanjutan terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi yang
masing-masing ditempuh tiga tahun.
3.
Pendidikan
kejuruan yang mencakup sekolah lanjutan yang bersifat vokasional antara lain di
bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik dan pertanian.
4.
Pendidikan
tinggi mempunyai beberapa tujuan pendidikan islam : mewujudkan masyarakat islam
yang sebebarnya dan asas perjuangan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi
munkar.
Peran wanita pada masa itu dipelopori oleh R.A Kartini. Kartini
berani berbeda dengan tradisi adatnya yang mapan, dia juga memiliki ketaatan
yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukunya yang berjudul Habis Gelap
Terbitlah Terang “min adz dulumati ila nuur”. Kartini menyadari bahwa
sumber pendidikan terbaik justru ada di dekatnya, yaitu Al-Quran.
Apa yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ternyata
memiliki pengaruh besar yang positif dalam menginspirasi seluruh wanita di
Indonesia. Raden Ajeng Kartini merupakan tokoh wanita yang akan selalu menjadi
inspirasi sepanjang masa. Perjuangan dan semangat hidupnya tidak akan pernah
lekang oleh waktu. Beliau memperjuangkan hak perempuan sehingga hak perempuan
setara dengan lelaki. Jika laki-laki bisa bersekolah maka perempuanpun begitu.
Inilah peran Ibu Kartini dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, dkk, 2008. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi
Askara).
Dhofier Zamakhsari, 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : lp3es).
Putra
Daulay Haidar, 2014. Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan (Jakarta: Kencana).
Ramayulis,. 2011. Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia).
Zuhairini,dkk.,
1989. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Dirjend. Bimbaga Islam
Jakarta
[2] Zamakhsari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : lp3es, 1982).
35-36.
[3]
Haidar Putra
Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2014).
76.
[4] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2011).
Hal. 253-256.
[5] Dra.Zuhairini,dkk., Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Dirjend. Bimbaga Islam (Jakarta : 1986).
151.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar