Minggu, 21 Juni 2015

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PADA ZAMAN PENJAJAHAN
Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Pada hakikatnya pendidikan adalah proses yang terintregasi dengan perkembangan hidup dan kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan.[1] Sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
مَن أَرَادَ الدنيَا فَعَلَيهِ بِالعِلم وَمَن أَرَادَ الاخِرَةَ فَعليه بِالعلم وَمَن أَرَادَهُما فَعليهَ بالعلمِ
Artinya:
Barangsiapa yang menginginkan (kebahagian) hidup di dunia maka hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa yang meninginkan (kebahagian) hidup di akhirat maka hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki kedua-keduanya maka hendaklah ia berilmu.
Pendidikan islam dari masa ke masa mengalami transformasi, mulai dari masa awal lahirnya, yakni pada masa Rosulullah, kemudian pada masa Khulafa’ur  rasyidin dan dilanjutkan masa-masa berikutnya, hingga islampun mengalami masa keemasan, kemunduran, dan perbaikan yang dikenal dengan masa pembaharuan. Dan disini yang akan dibahas yaitu pendidikan islam di indonesia yaitu pada masa setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia.
Pada mulanya kedatangan orang-orang asing Belanda ke Indonesia adalah untuk menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia. Selain berdagang Belanda berupaya menancapkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia. Kehadiran Belanda tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Penetrasi Belanda menghancurkan elemen-elemen kehidupan perdagangan orang Jawa, kegiatan umat islam dalam politik. Selain itu segala aktifitas umat islam yang berkaitan dengan keagamaan ditekan. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengalaman agama islam, seperti upacara keagamaan dan ibadah haji.
Pembatasan dan pengawasan ketat oleh Belanda tarhadap umat islam membatasi aktivitas umat Islam. Akibatnya pengajaran nilai-nilai islam dan peningkatan keberlakuan nilai-nilai islam menjadi tersendat-sendat, bahkan perluasan agama islam terhadap daerah yang belum terjangkau oleh islam menjadi terhambat. Meski demikian, islam justru menjadi daya tarik ulama sebagai simbol perlawanan kepada penjajah Belanda. Islam dijadikan sebagai mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi kekerasan dan pembatasan pemerintah Belanda.
Berdasarkan statistika resmi pemerintah pada tahun 1885, jumlah lembaga pendidikan islam tradisional tercatat sebanyak 14.929 di seluruh Jawa dan Madura (kecuali kesultanan Yogyakarta). Kegiatan keislaman juga berkembang dengan intens.[2] Hal ini didorong oleh banyaknya masyarakat Indonesia yang menjalankan ibadah haji sekaligus menimba ilmu agama di Makkah. Akhirnya terjadilah pelonjakan jumlah lembaga pendidikan islam.
Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model barat. Pendidikan Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Adapun tujuan didirikannya sekolah adalah untuk mempersiapkan pegawai-pegawai bekerja untuk Belanda.[3] Kehadiran sekolah-sekolah pemerintah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama. Kaum ulama dan para santri menganggap program pendidikan tersebut adalah alat penetrasi kebudayaan barat di tengah berkembangnya pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan islam. Sehingga tujuan ini akan melahirkan kaum intelektual yang sekuler dan menjadi pembela kebudayaan barat. Akhirya para kaum ulama mengecam sistem ini.
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di kenal dengan istilah bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya pendidik pribumi indonesia. Pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam, yaitu :
a.       Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam merupakan sistem pendidikan yang  mengkorelasikan antara sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Adapun pendidikan pada masa ini dilaksanakan dengan menggunakan dua sistem, Yakni sistem Keraton dan sistem Pertapa.
Strategi pembelajaran pada sistem pendidikan keraton dilaksanakan dengan  guru (Teacher) mendatangi murid-muridnya. Yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para bangsawan dan kalangan keraton. Sedangkan sistem pertapa kebalikan dari sistem keraton, justru para muridlah yang mendatangi guru ke tempat pertapaanya. Semua murid-murid yang menimba ilmu tidak lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga termasuk rakyat jelata.
b.      Sistem pendidikan surau (langgar)
Secara bahasa kata surau berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk menyembah arwah nenek moyang. Beberapa ahli mengatakan bahwa surau berasal dari India yang merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat pembelajaran dan pendidikan Hindu-Budha. Istilah surau paling banyak dipergunakan di Minangkabau.
Seiring dengan kedatangan Islam di Minangkabau proses pendidikan Islam disampaikan oleh Syeikh Burhanudin. Beliau menyampaikan pengajarannya melalui lembaga pendidikan surau. Pada umumnya anak laki-laki yang menimba ilmu di tempat ini menetap, sehingga memudahkan Syeikh menyampaikan pengajarannya.
Dalam lembaga pendidikan surau tidak mengenal birokrasi formal, sebagaimana yang dijumpai pada lembaga pendidikan modern. Aturan yang ada didalamnya sangat dipengaruhi oleh hubungan antar individu yang terlibat. Secara kasat mata dapat dilihat di lembaga pendidikan surau tercipta kebebasan, jika murid melanggar suatu aturan yang telah disepakati bersama, murid tidak mendapatkan hukuman tapi sekedar nasihat. Fungsi learning societi disurau sangat menonjol karena di lembaga ini tidak sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan saja tapi lebih dari itu merupakan suatu proses belajar untuk sosialisasi dan interaksi kultural.
Sistem pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, murid dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses belajarnya tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. Dalam proses pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang ada hanya kitab  kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan memakai metode ceramah, membaca dan menghafal. materi pembelajaran yang diberikan Syeikh kepada urang siak dilaksanakan sambil duduk di lantai dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa catatan penting disisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal dengan istilah halaqoh.[4]
c.       Sistem pendidikan pesantren
Pesantren adalah institusi pendidikan Islam yang berasal dari tradisi umat Islam. Pesantren lahir dari pola kehidupan tasawwuf, yang kemudian berkembang diwilayah Islam, seperti Timur Tengah dan Afrika utara yang dikenal dengan sebutan zawiyat. Pesantren merupakan kelanjutan dari tradisi Hindu-Budha yang sudah mengalami proses islamisasi. Pesantern adalah lembaga pendidikan tertua di indonesia. Pesantren sudah menjadi milik umat Islam setelah melalui proses Islamisasi dalam sejarah perkembangannya. Di sana diajarkan diajarkan norma-norma yang tidak mungkin dijumpai di tempat-tempat lain. Disana tidak sekedar diajarkan berbagai ilmu dan melakukan ibadah saja, tetapi juga diajarkan nilai-nilai paling mutlak yang harus dimiliki seseorang dalam mengarungi kehidupan.
Metode pengajaran yang digunakan di pesantren bermacam-macam. Seperti metode sorogan atau layanan individual, Metode wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif serta Metode Musyawarah.
Metode layanan individual yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kyai menghadapi seorang santri yang masih dalam tingkatan dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiyai, kemudian kiyai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri mengulangi bacaan sampai santri benar-benar membaca dengan baik. bagi santri yang telah menguasai materi lama, maka ia boleh menguasai meteri baru lagi.
Metode layanan kolektif Ialah metode mengajar dengan sistem ceramah. Kiyai membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar. Kiyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak baacaan Kiyai sambil membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya. Di daerah Jawa metode ini disebut (halaqoh) yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab.
Metode Musyawarah Adalah belajar dalam bentuk diskusi. Metode ini dilakukan  melalui membahas setiap masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri ditingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan santri dalam mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiyainya.
Kurikulum pendidikan islam pada masa ini adalah mengkomplikasikan daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai dipesantren-pesantren Jawa dan Madura. Daftar tersebut meliputi kitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fiikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir. Pendekatan terhadap al-Quran tidak terjadi secara langsung melainkan hanya melalui seleksi yang sudah dilakukan kitab-kitab lain khususnya kitab fikih. Studi fikih dan tata bahasa arab merupakan profil pesantren pada akhir abad ke-19 tersebut. Pada umumnya pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun sekalipun mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainnya tidak di abaikan sama sekali. Dalam hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat, pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan begitu pula pengajaran bahasa arab.
Tidak ternilai besar kerugian yang harus ditanggung bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan islam. Di bawah tindasan dan kekejaman kolonial Belanda, rakyat Indonesia terbelenggu dalam kemunduran dan keterbelakangan karena harus berhadapan dengan ketatnya peraturan dan pengawasan kolonial Belanda. Meskipun pemerintah kolonial telah menyelenggarakan sistem pendidikan barat yang lebih maju dan modern namun rakyat indonesia tidak sembarang mengikuti sistem pendidikan Belanda.
Sejak tanggal 18 Maret 1942, kejayaan kaum penjajah Belanda di Indonesia lenyap karena Belanda harus bertekuk lutut pada Jepang. Selanjutnya, bangsa Indonesia memasuki alam baru di bawah pemerintahan Jepang.  Dengan begitu habislah riwayat susunan pengajaran Belanda yang dualistis yang membedakan antara pengajaran barat dan pengajaran bumi putera. Kemudian  Jepang mendidirikan sekolah pertama dengan susunan pengajaran sebagai berikut : (a) Sekolah rakyat 6 tahun, (b) Sekolah menengah 3 tahun, (c) Sekolah menengah  tinggi 3 tahun dan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran.
Pada masa jepang tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan  yang kedua membela bangsa dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara manusiawi.
Pada masa itu pesantren besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang. Namun kehadiran Dai Nippon di Indonesia tidak ubahnya dengan Belanda. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang ini pun mendapat hambatan yang cukup besar. Pada tahun-tahun pertama pendidikan Jepang, mereka melarang diajarkannya bahasa Arab di sekolah-sekolah agama. Campur tangan Jepang dalam seluruh bidang pendidikan agama sebagian ditujukan dalam hubungannya dengan Arab dan pan-Islamisme. Hal tersebut merupakan salah satu beban yang dipaksakan kepada orang-orang Islam Indonesia selama zaman pendudukan Jepang.
Kehadiran Jepang di Indonesia menanamkan jiwa berani pada bangsa Indonesia. Tetapi semua itu untuk kepentingan Jepang. Kendatipun demikian, ada beberapa hal yang perlu dicatat pada zaman Jepang ini, yaitu yang terjadi perubahan yang cukup mendasar di bidang pendidikan, yang penting sekali artinya bagi bangsa Indonesia, ialah :
a.       Dihapuskannya dualisme pengajaran
Habislah riwayat susunan pengajaran Belanda dualistis, yang membedakan dua jenis pengajaran , yakni pengajaran Barat dan pengajaran Bumiputra.
b.      Pemakaian Bahasa Indonesia
Pemakaian Bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah, telah dilaksanakan. Tetapi sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk mempekenalkan kebudayaan Jepang kepada rakyat.
Sikap Jepang Terhadap Pendidikan Islam adalah  pemerintahan Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan siasat untuk kepentingan Perang Dunia II. Untuk mendekati umat Islam, mereka menempuh beberapa kebijaksanaan, di anataranya ialah:[5]
1.      Kantor Urusan Agama, yang pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor Islamistische Zaken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu K.H.Hasyim Asyari dari Jombang, dan di daerah-daerah juga dibentuk Sumuka.
2.      Pondok Pesantren yang besar-besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
3.      Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4.      Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan pelatihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam, barisan tersebut dipimpin oleh K.H.Zainal Arifin.
5.      Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H.Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
6.      Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasionalis didizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta). Tokoh-tokoh santri dan pemula Isl­­­am ikut dalam pelatihan kader militer tersebut, anatara Sudirman, abd.Khaliq Hasyim, Iskandar Sulaiman dan lain-lain. Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi inti dari TNI sekarang.
7.      Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.

Perkembangan pendidikan islam pada masa penjajahan Jepang memiliki ruang gerak bebas dibandingkan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini memberikan kesempatan bagi pendidikan islam untuk berkembang :
a.       Madrasah
Madrasah berkembang dengan pesat dari segi kuantitas pada masa awal kependudukan Jepang. Hal ini dapat ditandai di daerah Sumatera yang terkenal dengan madrasah awaliyahnya di bawah naungan majlis ulama tinggi.
b.      Pendidikan agama di sekolah
Sekolah negeri diisi dengan pelajaran budi pekerti. Hal ini memberikan kesempatan pada guru agama islam untuk mengisinya dengan ajaran agama. Di dalam pengajaran tersebut juga dimasukkan ajaran tentang jihad melawan penjajah.
c.       Perguruan tinggi Islam
Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya sekolah tinggi islam dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, KH. Mudzakar, dan Bung Hatta.
            Walupun Jepang berusaha mendekati umat islam dengan memberikan kebebasan dalam beragama dan mengembangkan pendidikan, namun para ulama’ tidak akan tunduk kepada pemerintaha Jepang. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana pejuangan KH. Hasyim Asyari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang untuk melakukan seikere (menghormati kaisar Jepang yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari). Pada waktu itu pendidikan dalam pondok pesantren masih berjalan secara wajar.
Pada tanggal 8 Juli 1945 bedirilah sekolah tinggi islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan pada zaman Jepang umat islam mempunyai banyak kesempatan untuk memajukan pendidikan islam. Sistem pendidikan pada zaman Jepang dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1.      Pendidikan dasar lama studi 6 tahun
2.      Pendidikan lanjutan terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi yang masing-masing ditempuh tiga tahun.
3.      Pendidikan kejuruan yang mencakup sekolah lanjutan yang bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik dan pertanian.
4.      Pendidikan tinggi mempunyai beberapa tujuan pendidikan islam : mewujudkan masyarakat islam yang sebebarnya dan asas perjuangan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar.    
Peran wanita pada masa itu dipelopori oleh R.A Kartini. Kartini berani berbeda dengan tradisi adatnya yang mapan, dia juga memiliki ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang “min adz dulumati ila nuur”. Kartini menyadari bahwa sumber pendidikan terbaik justru ada di dekatnya, yaitu Al-Quran.      
Apa yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ternyata memiliki pengaruh besar yang positif dalam menginspirasi se­luruh wanita di Indonesia. Raden Ajeng Kar­tini merupakan tokoh wanita yang akan selalu menjadi inspirasi sepanjang masa. Perjuangan dan semangat hidupnya tidak akan pernah le­kang oleh waktu. Beliau memperjuangkan hak perempuan sehingga hak perempuan setara dengan lelaki. Jika laki-laki bisa bersekolah maka perempuanpun begitu. Inilah peran Ibu Kartini dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan.  

DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, dkk, 2008. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Askara).
Dhofier Zamakhsari, 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : lp3es).
Putra Daulay Haidar, 2014.  Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan (Jakarta: Kencana).
Ramayulis,. 2011. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia).
Zuhairini,dkk., 1989. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Dirjend. Bimbaga Islam Jakarta
               



[1] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Askara, 2008). 10.

[2] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : lp3es, 1982). 35-36.
[3] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2014). 76.
[4] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2011).  Hal. 253-256.
[5] Dra.Zuhairini,dkk., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Dirjend. Bimbaga Islam (Jakarta  :  1986). 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar